Selasa, 22 Juni 2010

Déjà vu (cerpen)

Aku berjalan menyusuri sebuah lorong yang asing untukku. Dirumahku sendiri. Lebih tepatnya, dirumah turun temurun keluargaku. Rumah yang sudah berdiri sejak dahulu. Empat puluh tahun lalu. Mungkin sebelum itu.
Aku melihat sebuah pintu yang sudah sangat kusam, dengan debu yang sudah menghitam. Kubuka perlahan pintu itu. Terdengar suara dernyitan pintu yang sangat tajam. Kumulai mencari sakelar lampu. dan “Ketemu.” Lampu di ruangan itu tidak langsung hidup. Tetapi, mati dan hidup berulang kali. Seperti sudah lama tidak dinyalakan.
Kutapaki lantai ruangan yang sudah sangat berdebu. Debunya berhamburan ketika salah satu kakiku mengangkat. Begitu seterusnya hingga aku berhenti di hadapan sebuah peti kayu seperti peti harta karun.
Aku berjongkok untuk meraih petinya. Ku usap perlahan debu yang ada dipeti kayu itu. Terlihat ukiran naga yang sangat indah pada peti itu. Perlahan kubuka petinya. Terdapat sebuah kotak terbuat dari kayu dengan ukiran yang sama dengan peti tersebut. Dan sebuah surat. Surat itu bertuliskan. “Buka kotak dan tekanlah tombol merah.” Ku ambil kotak dan mulai membukanya. Terlihat Sebuah tombol merah yang kemudian kutekan.
Kotak itu bergetar hebat. Ku tak dapat memegangnya lagi. Kotak itu pun terpental dari tanganku. Dari kotak yang bergetar itu, mulai muncul kabut asap berwarna putih. Aku bergeser mundur ketakutan. Kotaknya berubah menjadi pusaran kabut yang membentuk wajah kakekku.
“ Tita cucuku tersayang.” dengan wajah merasa bersalah.
”Maafkan kakek yang harus membuatmu susah. Kakek benar-benar harus memintamu untuk menyelamatkan kami semua. Hanya kamu yang dapat menyelamatkan kami, keluargamu, Tita.”
”Kenapa harus aku?” tanyaku pada pusaran itu.
”Ya, harus kamu Tita. Karena kakek melihatmu ketika kami berada dijaman reinkarnasi. Bersama seorang pria menyelamatkan kami semua. Walau hanya sekilas, tetapi kakek yakin itu kamu. Kami berada pada zaman yang salah. Kami disandera dan akan dibunuh oleh makhluk ompa lompa. Maka tolonglah kami. Jika kamu tidak menolong kami. Sesungguhnya kamu telah meniadakan dirimu sendiri.”
”Lalu apa yang harus kulakukan.” tiba-tiba pusaran kabut yang membentuk wajah kakek menghilang dan berubah menjadi sekumpulan cahaya warna-warni.
”Jika kamu sudah siap. Dengan perlahan-lahan kamu masuki cahaya itu.” kata suara kakek diruang udara.
Aku berfikir sejenak. Sanggupkah aku menjalani semua ini. Namun apapun yang terjadi. Aku harus menyelamatkan keluargaku dan diriku sendiri.
Tekatku sudah bulat. Perlahan aku bangun menghampiri cahaya itu. Tetapi sebelum aku memasuki cahaya itu aku tertarik oleh gaya dari cahaya itu dan aku tak sanggup menahannya.
***

”Aduh.” aku merasakan badanku terjatuh dari suatu tempat ketempat yang keras.
Dengan perasaan kagum aku melihat pemandangan di sekelilingku.
”It`s so beautiful.” Pemandang dihadapan ku bagai pemandangan di negeri dongeng. Pepohonan disini bukan hanya berwarna hijau. Tapi berwarna-warni. Seperti merah, kuning dan biru. ”Sebenarnya tempat apa ini?” tanyaku pada diriku sendiri ketika aku melihat seekor tupai terbang dengan sayapnya sendiri.
”Ya tuhan, aku berada diatas bukit! Bajuku?” baru kusadari aku sedang berada diatas bukit dan memakai baju seperti gaun cinderella, tapi tidak bagus dan berwarna gelap. Melihat kebawah aku tak sanggup. Bukitnya sangat curam. Aku memang benar-benar berada di atas bukit. Sesuatu yang jauh diatas langit mulai mendekatiku.
Ternyata seekor burung Elang raksasa menghampiriku. Dan mencengkram ku dengan kuku-kuku cakarnya. Membawaku terbang ke angkasa.
Walaupun dengan perasaan takut, tapi sejujurnya aku menikmati terbang diangkasa bersama burung Elang raksasa ini.
Burung Elang ini memang baik. Dia menurunkan ku dihutan di bawah bukit.
”terimakasih ya burung.” ucapku, dan bergegas berjalan meninggalkan burung Elang raksasa itu.
”iya. Tak apa.”
”Seekor burung bicara?” aku menoleh kembali pada burung itu. Tapi burung Elang itu sudah pergi.
”Dunia yang aneh.” gumamku sambil kembali berjalan menyusuri hutan.
Aku terus diperlihatkan sesuatu yang sangat membuatku terheran-heran. Mulai dari gajah berkaki dua. Sampai ulat yang mempunyai empat kaki. Sungguh diluar fantasi yang tidak pernah aku fikirkan.
Aku melihat suatu buah berbentuk bunga tulip pada sebuah pohon yang rindang. Ketika aku mengambil buah itu. Tiba-tiba buah itu menjadi panjang dan berubah menjadi ular.
”Aaaaaaaaaaaaaaa,,,”
’Srekh’
Seketika menjadi hening.
Dengan perlahan aku membuka mata dan beranjak melihat dari bawah, keatas.
Kumelihat kepala ular tadi tergeletak diatas tanah dengan darah berwarna biru, dan sebilah pedang berdarah yang digenggam. Digenggam tangan. Tangan, seseorang.
Aku terkejut dan mundur beberapa langkah setelah aku myadari seseorang berdiri dihadapanku dengan membawa pedang.
”Si.... si... siapa kamu?” tanya ku takut.
”kamu gak usah takut. Harusnya kamu berterimakasih sama aku.” kata orang tersebut dengan wajah ceria dan senyum manisnya.
”i...i..iya sudah. Terima kasih. Hm.. tapi kamu siapa?”
”perkenalkan aku Eithan. Kamu?” jawab orang itu sambil menyodorkan tangannya.
”Aku Tita.” jawabku, tanpa menyambut tangan Eithan.
Eithan pun menarik kembali tangannya dan mengangkat bahu. Bingung.
”Disini berbahaya. Jangan mengambil sesuatu sembarangan.” kata Eithan sambil meninggalkanku.
”Eithan, tunggu.”
Eithan kembali menghadapku dan menungguku bicara.
”hm... aku... aku... mau ikut sama kamu.”
Eithan pun kembali berjalan.
”Eithan.”
”ada apa lagi?” kata Eithan menoleh malas.
”kamu gak denger apa?”
”kamu mau ikut?”
”iyaaaaa...”
”kalau kamu mau ikut. Ikuti saja aku. Dan jangan banyak komentar.” Eithan pun kembali berjalan. Aku pun mengikuti Eithan dan berjalan menyamakan langkahnya.
”memang kamu mau kemana di hutan terlarang sendirian?” tanya Eithan tanpa menolehkan pandangannya sedikitpun. Dia tetap berpandangan lurus.
”Aku... aku mau menemui kelurgaku.” jawabku susah karena harus melilipat-lipat gaun yang panjangnya menutupi kaki yang terus melorot untuk bisa menyamai langkah Eithan yang panjang-panjang.
”Memang keluarga kamu ada dimana?”
”Aku juga tidak tahu.”
Eithan menghentikan langkahnya dan menatapku.
”Crazy.”
”Apa? Kamu bilang aku gila?”
”menurut kamu?”
Memang benar, aku memang seperti orang gila. Mencari kelurgaku yang entah ada dimana. Aku tertunduk lemas. Aku baru saja menyadari sesuatu yang tadi kulupa, tujuan sebenarnya aku ada disini. Menolong keluargaku dan diriku sendiri.
Sesuatu telah membasahi pipiku. Air mata bergantian mengalir dari mataku, menjadi semakin deras.
”Ta? Kamu kenapa?” Eithan metapku yang sedang menangis.
”Aku harus menyelamatkan keluargaku dari ompa lompa. Tapi siapa ompa lompa? Bagaimana aku melawannya? Apakah aku bisa? Kenapa semua ini terjadi?” aku medongak melihat Eithan yang menatapku.
Eithan merengkuh bahuku dengan kedua tangannya.
”Tita dengar aku. Aku tahu siapa ompa lompa. Dan aku punya cara bagaimana menghadapinya. Kita pasti bisa mengalahkan ompa lompa.” Eithan menatapku penuh harapan.
”Kita?”
”Iya, kita. Kau dan aku.” Eithan tersenyum manis. Sekali lagi dia memberiku harapan.
”Sekarang kita harus menemui ompa lompa. Karena seluruh keluargaku juga di sandera oleh ompa lompa.” kata Eithan sambil melepaskan tangannya.
”Kita harus cepat.” Eithan mulai berjalan.
”Tapi. Ini.” aku menunjuk bagian bawah gaunku yang membutku kesulitan berjalan.
’srengkh’ pegangi gaunnya.
’breeeeek’ ’breeek’
Eithan mengeluarkan pedangnya dan merobek bagian bawah sisi depan dan samping gaunku.
”Terimakasih.”
Eithan menganggukan kepalanya memberi isyarat agar aku segera berlari.

***

”Kita sudah sampai.” kata Eithan.
Aku memutar badanku untuk melihat sekeliling dimana tempat ku berdiri sekarang dan merasakan apa yang sebenarnya terjadi.
”Eithan. Inikah tempat ompa lompa itu?
”Ya. Ayo.” Aku dan Eithan memasuki gua berwarna hijau seperti gabungan batu safir. Gua itu dikelilingi batu gajah seperti patung Ghanesa.
“Dimana ompa lompa.” Suara yang ku ucapkan menggema di dalam gua.
”Sttt....”
”Eithan.” tanganku ku letakan di bahu Eithan. Tetapi Eithan menghempaskanya. Kurasakan seluruh emosi berpusat di jariku. Dan,
”Eithan.”
’zztt... bruuuug bruuug’
Cahaya merah seperti laser yang keluar dari jari telunjukku menghancurkan batu-batuan di langit-langit gua.
”Apa itu?” tanya Eithan kaget.
”Aku juga tidak tahu.”
Segerombol makhluk berwarna emas dengan tinggi setengah dari tubuhku, membawa kampak dan belati masuk dari luar gua.
Aku dan Eithan sontak menjadi kaget.
”Tita, kamu segera kedalam gua menyelamatkan keluarga kita dengan kekuatan mu. Tapi ingat, jangan sampai mereka melihat kamu dengan jelas. Karena kita bisa musnah dalam sekejap.”
”Baik”
Aku segera masuk kedalam gua. Sebelum aku benar-benar meninggalkan Eithan, aku melihat Eithan kembali dalam suasana genting dengan pedangnya melawan makhluk ompa lompa.
Aku berlari menyusuri gua. Aku melihat bayangan didinding gua. Banyak orang-orang yang ditawan oleh ompa lumpa.
Aku melihat Kakek dengan tangan terikat. Aku mencoba kekuatan laser yang tadi muncul dari tanganku. Tapi tidak bisa. Aku terus mencoba. Aku melihat kakek yang sepertinya sudah menyadari adanya aku. Secepat mungkin aku sembunyi dan terus mencoba kekuatanku.
”Tita.”
”Eithan.” aku melihat Eithan yang sudah ada di sampingku.
”Sudah bisa?”
”Belum. Kekuatan ku belum bisa aku gunakan lagi.”
”Ayo lekas. Karena Raja ompa lompa akan segera datang.” jelas Eithan panik.
”Bagaimana dengan pedang mu? Kita bisa menggunakan pedangmu untuk menolong mereka?”
”Pedangku dilelehkan oleh makhluk ompa lompa yang kekuatannya dapat melelehkan besi.”
”Lalu, apa yang harus kita perbuat?”
”Kita harus menemukan sesuatu yang dapat membuat tangan mu dapat mengeluarkan laser lagi.”
Aku berfikir keras apa yang tadi aku lakukan sehingga dapat mengeluarkan laser itu dari jari telunjukku.
”Di ayunkan.” aku menggumam.
”Apa?”
”Eithan bisa berbalik?” aku meletakan tanganku di atas bahu Eithan dan mengayunkanya.
’zztt..ztt’
”Ayo” kata Eithan.
Aku mengarahkan laser dari tanganku kepada tali yang mengikat tangan kakek.
”Berhasil” teriakku girang.
’brug..brug..’
Gua berguncang hebat. Guncangan sangat kuat hingga batu kecil langit-langit gua runtuh. Aku mengintip Kakek sedang membantu orang-orang membuka tali yang mengikat mereka.
”Raja ompa lompa. Ayo kita pergi.” Eithan menarik tanganku. Aku juga menarik tangan Eithan kebelakang.
”Kita harus mencegah dia datang kesini. Karena mereka belum selesai membuka tali.”
”Ya kamu benar.”
”Aku punya ide.” bisikku.


***

Sesosok raksasa berwarna emas membawa boomber berduri berdiri dihadapan kami. Mulai berlari menyerang tapi langkahnya terhenti ketika batu safir hijau dari langit-langit gua yang runtuh tadi dibuat oleh laser menjadi cairan panas dan terkena tepat dimukanya. Batu-batu cair itu terus kami arahkan padanya hingga dia meledak dan menjadi kepingan emas.
Setelah menjadi kepingan emas. Aku dan Eithan meletakan kepingan emas itu di dalam gua pada daerah yang berpencar-pencar agar tidak dapat berkumpul kembali. Dan aku melelehkan gua itu agar membeku bersama kepingan emas-emas tadi.
Aku dan Eithan menatap semua itu dengan rasa bahagia sekaligus bangga.
”kita harus kembali.” kata Eithan berbisik.
”Eithan, aku merasa kalau aku sedang mengalami Deja vu.” kataku sambil menatap mata Eithan.
”memang kamu mengalami deja vu peristiwa yang mana?”
”Ini semua.” ucapku menerawang dengan pandangan kosong.
”berarti aku juga?” kata Eithan menggoda sambil menyikut lenganku mesra.
”iya, Eithan. Kamu juga.”
”kita harus segera pergi. Kita jangan sampai telat.” Eithan menarik tanganku dan mengajakku berlari.
Aku dan Eithan berdri di hadapan sebuah tebing raksasa. Dan tiba-tiba mucul sebuah lubang hitam raksasa menarikku dan Eithan secara tiba-tiba.

****
Ternyata lubang tadi membawaku ke rumahku sendiri. Lebih tepatnya ke kamar mandi. Tanpa Eithan.
”Tita, Tita..” panggil Mami dari luar.
”ya, Mi.” sautku panik dan bingung.
”Cepat ya. Ada Eithan nungguin kamu.”
”iya, Mi. Sebentar.”
”cepat yaaaah!.”
”iyah. Mami kenal Eithan?” gumamku dalam hati.
Aku keluar dari kamar mandi.
”Ada Eithan tuh di ruang tamu.” kata Mami kemudian pergi ke dapur.
”Hai, Than.” sapaku sambil menghampiri Eithan.
”Hai juga.” kata Eithan sambil berdiri ketika melihatku.
”Eithan, benarkan kita tadi ada di hutan dan mengalami deja vu tentang ompa lom...” belum sempat aku meneruskan kata, Eithan menyuruhku diam.
”Sttt.... aku tahu. Aku mau tidak ada orang yang menyadari deja vu ompa lompa selain kita.” bisik Eithan.
”kok. Kamu bisa ada dirumahku? Kenapa Mamiku mengenalmu?”
“tiba-tiba aku ada di depan rumahmu. Mungkin setelah kita menyelesaikan ini kita adalah teman. Dan sebelum kamu menjadi temanku berarti kita belum menyelesaikan semua ini.” jawab Eithan.
”ya, aku mengerti. Berarti kita telah merubah keadaan yang harusnya memang terjadi.”
”ya, seperti itulah.” kata Eithan singkat.

Sekarang ruangan penghubung itu aku minta untuk dihancurkan. Dengan alasan aku ingin mempunyai kolam renang, alasan yang sebenarnya adalah, agar keluargaku tidak perlu menyadari aku mengalami de javu ompa lompa dan tahu kejadian ompa lompa.
Aku dan Eithan bisa berteman sekarang karena,, aku juga tidak tahu dari mana aku bisa berteman dengan Eithan. Semuanya terjadi dan terselesaikan dengan cara yang tidak masuk akal. Akan tetapi semuanya memang benar terjadi.

****


oleh
DIta Julia Ningsih

2 komentar:

  1. kerennn.. gw suka gaya bahasanya.....
    gua saranin lu bikin cerita bersambung jd geregetnya bisa lbh kerasa....

    but good job *Rianti di IMB

    BalasHapus
  2. hahaha
    mksih yaaaaaaaah pujiannya..
    punya blog juga?

    BalasHapus