Sabtu, 21 Februari 2015

Sahabatku?

Dulu aku gak pernah ngerasain yang namanya punya sahabat. Yeah… sebenernya ini masalah klise bagi banyak orang dan pastinya gak cuma aku. Kadang orang-orang yang kaya aku ini sering kali iri sama mereka-mereka yang punya sahabat dan sahabatan sampai bertahun-tahun. Kemana-mana berdua terus udah nempel banget kaya perangko sama amplop. Suka banget nginep-nginepan sampai keluarga besarnya tau dia suka nginep. Sampai-sampai suka saling pinjam meminjam barang yang bahkan sifatnya pribadi. Tapi dari semua itu, kakakku pernah ngasih tau sesuatu.
Jadi, waktu aku masih es-de kakakku satu-satunya pernah cerita bahwa dia punya temen sekelas yang punya sahabat sampai intim banget. Intim disini maksudnya mereka udah deket banget sampai tau busuk-busuknya satu sama lain. Contohnya, aib keluarga tuh udah jadi bahan curhatan sehari-hari soalnya mereka satu sama lain ngerasanya kaya nemuin kembaran yang dulu sempet hilang. Tapi, namanya manusia yang punya dua otak pasti pemikirannya gak akan selalu sama kan. Akhirnya suatu hari mereka bertengkar hebat. Aku lupa masalahnya tentang apa, cowok mungkin. Tapi yang jelas, saat mereka berantem aib dari masing-masing saling ngebongkar satu sama lain. Bayangin deh aib lho… katanya sahabat. Itu termasuk aib keluarga si salah satu temennya.
Setelah itu, pola pikirku berubah tentang sahabat. Mungkin. Toh waktu cerita itu diceritain pun aku gak punya sahabat. Kadang aku mikir, apanya yang salah? Kepribadian aku mungkin karena aku cerewet, ketus, atau bukan pendengar yang baik menjadi penyebab aku susah banget punya sahabat. Tapi dari semua itu, aku bukan tipe orang yang suka cerita tentang keburukan atau aib yang aku punya dan alami. Orang-orang mungkin berpikir kalau aku cerewet dan gak kehabisan bahan cerita itu menandakan aku gak punya rahasia. Mereka salah besar. Ada kalanya hal-hal yang penting jadi konsumsi diri sendiri aja, gak perlu diceritain ke orang meski kamu bilang dia sahabatmu.
Aku adalah seseorang yang paling menjujung tinggi harga diri yang aku bawa. Harga diriku, harga diri keluargaku, dan harga diri agamaku. Aku bakal mikir seribu kali untuk menceritakan kejelekan keluargaku. Dan sebelum mikir seribu kali itu selesai, aku bakal mutusin bahwa gak ada untungnya cerita kejelekan tentang diri kita. Soalnya, kadang orang yang mendengarkan masalah kita belum tentu peduli sama apa yang kita alami, tapi lebih ke keuntungan pribadi karena mereka dapat informasi dan bahan yang mereka senangi untuk dengarkan. Atau malah mereka bahagia karena tau kalau kita lagi kesusahan. Who knows, right? Dan kadang saat masalah kita sebenarnya udah selesai tapi karena kita cerita ke orang dan ternyata orang itu mulutnya ember, akhirnya banyak orang yang tau dan masalah yang berkembang di antara mereka lebih buruk dan memalukan daripada masalah kita sebenarnya.
Saat udah kuliah gini, waktu itu pernah denger ceramah tentang ruginya orang yang gak punya sahabat. Sahabat disini maksudnya adalah seseorang yang selalu mengingatkan kita dalam urusan akhirat dan yang membuat kita semangat untuk berlomba-lomba dalam beribadah. Nah, asumsiku tentang pengertian sahabat mulai berubah. Bahwa segala sesuatunya itu harus dilandasi dengan keimanan, termasuk persahabatan. Jadi saat kamu punya seseorang yang selalu bersamamu dalam urusan dunia saja, itu bukan sahabatmu. Karena sahabat itu yang akan membantumu untuk menuju syurga-Nya kelak.
Terus sekarang udah punya sahabat?
Saat belum ada yang setia mengingatkan dan membangunkanku untuk sholat malam, aku pikir aku belum punya sahabat. Saat aku masih merasa kesulitan untuk bangun sholat subuh dan belum ada yang bersedia setia membangunkanku dari tidurku, aku pikir aku belum punya sahabat. Dan kalaupun sahabat itu ada dalam hidupku saat ini, pastilah itu keluargaku. Papah dan Mamah yang selalu setia bangunin aku untuk sholat subuh meskipun aku tidurnya kaya kebo. Mamah yang selalu nyuruh-nyuruh aku supaya aku gak telat makan. Adikku yang selalu cerewet, “baca aja, sholat sana!” aaaahhh.. Ya Allah, lindungi mereka dari siksa-Mu aku sungguh merindukan mereka.
Yah. Saat aku sedih karena ditinggalin atau tidak dianggap sama mereka-mereka, aku masih punya keluargaku untuk aku bergantung. Aku mencintai mereka dan berharap agar Allah senantiasa Melindungi mereka. Dan aku tahu bahwa keluargaku tak akan selamanya ada untukku, aku masih punya Allah di hatiku. Cukuplah Allah sebagai Penolongku.
Dan bila saatnya tiba, Allah akan memberikan dirimu sebagai sahabatku. Kau yang tidak akan pernah menolakku untuk kumintai bantuan, kau akan merasa bahagia karena kau membutuhkanku untuk membutuhkanmu. Kau yang akan setia membangunkanku untuk sholat fajr hingga sisa umur kita. Kau yang akan dengan sabar mengurusku saat aku sakit. Kau yang akan setia menungguku bersiap saat kita akan pergi ke suatu tempat. Kau yang akan setia membawakan belanjaanku saat aku bingung memikirkan apa yang belum kubeli hahahaha. Kau yang akan selalu ada disaat aku butuh bahu untuk menangis. Kau yang akan selalu menjadi tempat untukku berbagi. Kau yang akan menjadi sahabatku sampai kita tua nanti. J

Senin, 16 Februari 2015

Diam


Perasaan ini memudar layaknya wajahmu di pikiranku
Terkikis bentuk itu satu persatu
Tak dapat terbayang kini apa yang dulu selalu terlihat
Karena memori itu sudah mulai melapuk

Hari kini berganti tahun
Diriku pun sudah tak seperti dulu
Hati ini menguat karena lekat oleh lem waktu
Ya kuat, namun masih bisa patah kemudian remuk

Pantaskah kata yang tersimpan disini terucap
Karena bukan kau yang memperbaikinya, tapi aku
Bukan kau yang mengiba, namun aku yang bertahan
Bukan kau yang jatuh, tapi aku yang cinta

Apakah dulu berasa
Atau hanya bias saja
Aku tak bisa melihat ke dalam itu
Mungkin ini pertanda bahwa kau tak menyukainya

Meski diammu itu memiliki banyak makna
Semua itu membuatku tahu bahwa masih ada kesempatan
Kesempatan untukku berlari
Atau bertahan meski tak tahu harus apa

Namun kau benar
Sikap diam itu membantuku belajar
Bahwa yang terbaik nanti, tidak dapat ditunjukan hari ini
Karena masa depan bukan aku atau kamu yang menentukan

Sikap tak acuh itu membuatku mengerti
Cinta bukan sekedar omong kosong anak es-em-a
Bukan lantunan musisi yang mengais nafkah
Cinta itu tentang cerita indah yang kau sebut penahan

Ini bukan puisi, bukan puisi untukmu
Ini puisi tentang diriku yang menahan waktu
Menahan perasaan itu, menahan pikiran yang merambat
Biar saja aku yang menentukan untuk siapa hatiku
Bukan kamu atau diammu.